A Little Talk

Selasa, 30 Oktober 2012

When I was sitting some metres away from the class, starring at the Teacher teaching inside, I opened my book. I read what haven't been read yet, imangining....

Suddenly a voice flew toward me, seemed to be whispering...

"Big brother..." 

I turned my face, "Oh,,,hello...come.." I answered.

 A girl came to me then sat beside me. "Anyways, why don't you come in to the class?" I was trying to make a talk.

"I'm kinda tired, big brother." She answered.

"Oh,, I see."

A minute passed by…Silent...... (I was in silent, and she was too.... I didn't know what kind of idea I was going to talk about...sort of speechless).

A minutes later, when I was trying to talk about something...

"Big brother, how long have you been in college?” she asked.

“Umm…about 3 years…1 year left,,,I wish.”

“Oh…I see. And,,,do you wanna be a teacher after fininshing your study?”

“Mmm…I,,,I’m actually not giving much hope in my goal of being a teacher, I actually want to be more of that, you know…a lecture, could be, and find some additional jobs. Tacher is not a promising job, I mean in terms of earning money, salary. It’s still not equal of what the teachers do in class and their salary. Though they have that so-called “teacher certification”,,,I mean, to be a teacher, we still need more… We may need some additional jobs to raise fund…

## You know,,,I spoke like a sophisticated one, but above all, the way I think, is like capitalistic one.

“Big brother, do you think that by mastering English, being English teacher, or knowing English can provide us much space in looking for job?” she kept asking.

“Of course, little sister…‘cause you know, English is needed everywhere. Beside teching English in school, you can teach English in a course, private learning, etc. You can also use your English in serving tourists or being interpreter…and many more”.

“So,,big brother, we will hardly find a job when we have no ability of English, right?”

“Could be, could be not…”

Then I went on…
“Little sister, actually,,,above all…if you have an interest of something, a hobby, just keep on developing it, give much attention to it. It will be your power one day, your future, to live your life…”

I went on…
“But, you know, in Indonesia, it’s still hard to develop such a thing. We have less place or space to develop or to improve our creativity, we have less friends or people to share our creativity or to compete with. It’s really different with what happened in the western countries.”

“That’s right big brother… By the way, I like drawing, big brother. I have many drawings of my own. I’m also good at dancing…” (of course you are, ‘cause I saw you dancing in the class just now..# I talked in my mind).

She went on…
“ Yess,,,so poor in Indonesia. Tira aggres. (She changed the “pronoun” of herself using her name, a sort of Jakarta dialect)

This girl is not originally from South Sulawesi. I could see it through the way she talked. And yepp, I knew it by our following talks ‘cause she told me about her experience, her story. She moved to Makassar because her father had a job here (kind of job mutation, perhaps).

Again, she went on…
“You know, big brother… In Indonesia, It’s so annoying, you know people here sometimes do not appreciate something we do. For example, you know sometimes when I’m dancing, people think that I’m just kind of crazy person, doing unimportant thing…”

“Yah,,that’s it. That’s why I wanna go abroad, study there, and enjoy life there.”

“Hmm…by the way, don’t you wanna come in to your class. I think we’ve made a long talk here. I’m just afraid if…mmm…actually we shouldn’t do a talk like this ‘cause you’re supposed to be in class now but, the fact, you’re not in class now.” I went on, trying to give a little advice.

“It’s OK, big brother, it’s OK…Tira’s just kinda tired studying in class.”

“I see, but…mm…Oh ya, you said before that you like drawing. Anyways, you know, I also like drawing, painting, I used to have many drawings…and the way I draw is by imitating a picture…not so bad. I began to draw something when I was five.”

“That must be nice… Hmm, big brother do you wanna go abroad? By the way, Kira has relatives in Singapura, and Kira knows that it’s good to study there. When Kira was in Elementary School, Kira almost went there with Kira’s family and lived there, but unfortunately the plan was cancelled.” She told her experience.

“Nice…”

“Little Sister…!” I suddenly disrupted the talk.

“Let’s get in to the class…The class is almost over.”

We both came in to the class…the class would be over in five minutes. She then sat at her seat, took something from her bag…

“Big brother, this is my drawing, look..” She showed me a piece of paper.

“Wow…beautiful…” I said,,,looking at the Manga (anime picture from Japan)at the paper.

“Do you like drawing Manga?” I asked

“ Yes, I do, big brother.”

“Just keep developing your drawing, little sister. If you have time, you can join groups of Manga lovers to share your drawings or something related to Mange. In facebook maybe you can find such those group, Manga Lovers Makassar maybe, etc. You can join them…”

The bell then rang…class was over.

Samalona; Aku dan Kalian (Bagian 3)

Kamis, 11 Oktober 2012

"Inilah akhir dari catatan terpanjang yg pernah saya buat..."




Subuh dan Sunrise Menjemput Pagi
Aku terbangun. Terdengar suara ribut teman-teman di penginapan. Ternyata Wansah, Idul, Mawan dan beberapa teman lainnya telah lebih dahulu bangun. Kuusap mataku dan bangkit dari bale-bale. Di sampingku Ade terlihat masih tertidur pulas. Aku tidak tahu apakah Ade betul-betul tertidur pulas atau tidak tertidur sama sekali meskipun matanya tertutup. Setahuku Ade akhir-akhir ini susah tidur malam karena batuk dan asma-nya yang biasa kambuh secara tiba-tiba.

Pagi itu matahari menampakkan kecerahannya di ufuk timur. Cahayanya menembus sela-sela daun dan popohonan rindang pulau Samalona. Sebagian teman di penginapan telah bangun, adapula sebagian yang masih tidur. Teman-teman yang lainnya langsung ke pantai menikmati sunrise yang indah dan berfoto-foto.

Matahari mulai meninggi perlahan-lahan.

“Ade, cari air panas yuk..” Aku mengajak Ade
“Dimana?”
“Di kios depan tuh. Jual susu, kopi, energen…”
“Yuk…”

Di salah satu meja bundar di depan kios nampak si kembar “pinang dibelah silet” sedang menikmati energen yang mereka pesan sejak tadi. Aku dan Ade pun tak ketinggalan memesan susu dan energen. Pagi itu kami menikmati segelas minuman “panas” penyambut pagi. Benar-benar taste good, apalagi susu yang kupesan telah kucampurkan sesachet milo yang sempat kami bawa dari Makassar. Perfecto.

Tak berapa lama kelompok bidadari muncul dan bergabung di meja tempat si kembar. Mereka memesan beberapa mangkuk mie goreng dan mie kuah.

“Ade, ayo gabung ke sebelah…” Aku mengajak Ade.

Aku dan Ade meninggalkan meja yang kami tempati dan bergabung bersama para bidadari dan si kembar “Rini dan Tanti”. Ber-joking ria kembali terjadi.

Setelah begitu lama ngobrol di depan kios, Aku dan Ade pergi ke pantai. Di sana telah ada beberapa teman lainnya yang tengah ber-snorkeling. Ada Phank, Wansyach, Mawan, Ardillah, Idul, Ayuni, serta Amel dan Guardiannya. Kami ikut bergabung bersama mereka menikmati laut indah Samalona. Momen-momen seperti ini seakan-akan mem-flash back hal-hal yang selalu ku lakukan ketika kecil di kampung halaman: berenang-renang di laut bersama teman-teman.


Back to Makassar
Sekitar pukul Sepuluh, kapal yang mengantar kami kemarin telah tiba menjemput kami. Pagi itu kami bersiap-siap balik ke Makassar. Satu per satu barang mulai dikemas. Beberapa teman terlihat mulai bersiap-siap berangkat, namun waktu keberangkatan sempat terulur karena ada beberapa yang masih menikmati snorkeling-nya.

Sambil menunggu semua teman terkumpul aku dan beberapa teman lainnya kembali berkonser. Di konser kali ini ternyata banyak yang ikut menyumbangkan suara dan bakat-bakat terpendam dan tersembul mereka. Selain vokalis tetap Ade dan Lany, ada juga vokalis-vokalis dengan suara indah terpendam lainnya seperti Rini, Eka Asrianti, Tanti, dan yang lain. Benar-benar konser penutup yang indah di pagi hari. Pagi itu kami juga sempat bercakap-cakap dan berfoto dengan dua orang Bule.

Kurang lebih pukul sebelas lewat waktu Samalona dan sekitarnya, kami meninggalkan pulau, back to Makassar. Begitu banyak kenangan yang terukir dan mulai terasa ketika kapal yang kami tumpangi mulai menjauh dari bibir pantai pulau Samalona. Pengalaman aneh, buruk, ataupun luar biasa kini terpatri rapi di dalam sanubari kami masing-masing, serasa ingin kembali mengukir kenangan-kenangan baru disana. Samalona, C U another time.

Samalona; Aku dan Kalian (Bagian 2)




Bidadari, Sunset, dan Malam
Matahari akhirnya kembali ke peraduannya. Berangsur-angsur cahayanya mulai terbenam di ufuk barat hingga menyisakan kilauan warna orange kemerah-merahan. Moment yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Para bidadari mulai berpose. Kami  pun ikut mengambil bagian, mengabadikan momen sunset yang indah. Setelah berfoto ria bersama sunset, kami dan para bidadari kembali ke penginapan.

Aku tidak tahu dengan apa yang dilakukan oleh bidadari-bidadari lainnya dan para Jaka Tarub. Mereka mungkin menikmati dan mengabadikan sunset di bagian depan pulau Samalona dengan kamera luxurious milik Addank yang beresolusi tinggi  dan mempunyai hasil gambar yang cukup bagus. Mungkin itu salah satu alasan mengapa Ayuni tidak bersama para bidadari di bagian belakang pantai Samalona. Ayuni mungkin telah melekatkan jiwanya dengan kamera milik Addank.

Hari telah gelap, seluruh penerangan dinyalakan oleh para pemilik penginapan. Kami akhirnya kembali berkumpul di penginapan untuk melepas lelah dan mencari air bersih untuk membersihkan diri. Aku, Mawank, Wansyach, dan Idul mencari air bersih untuk wudhu dan bersholat Magrib. Mushollah disana ternyata menyiapkan kran air untuk berwudhu. Satu persatu dari kami mulai berwudhu. Tak jauh dari situ nampak sebagian teman-teman kami sedang membersihkan diri di sumur. Ada Phank, Rini, Tanti, Ade dan teman-teman lainnya yang aku tidak bisa merecognise-nya karena hari semakin gelap dan tak ada pula penerangan di sumur tersebut.

Aku yang terakhir berwudhu hampir saja kehabisan air. Air yang mengalir di kran Musholla tinggal berupa aliran air kecil yang akan menunggu perubahannya menjadi tetes-tetes kecil. Oh My God, siksa macam apa yang kau berikan ini. Udah airnya asin, tinggal sedikit pula. Penderitaan dalam rekreasi seperti ini mengingatkanku akan perjalananku dan kawan-kawan ke Bontotiro yang terpaksa tercancel di tengah jalan karena mobil kami mogok di Jeneponto dan butuh satu hari lebih ubtuk diperbaiki. Namun penderitaan di pulau ini agak berbeda: masalah air asin. Setelah berwudhu, kami melaksanakan sholat berjamaah bersama beberapa bidadari yang ternyata sudah berada di Musholla sejak tadi. Setelah sholat kami kembali ke penginapan.

Penginapan terlihat begitu ramai. Kami kembali terkumpul setelah terpisah-pisah sebelumya. Di depan penginapan ada Ammank si “rocker” yang selalu bersama gitar. Di ruang dalam nampak sebagian teman-teman lainnya sedang menonton siaran live pertandingan bulu tangkis. Sebagian teman lainnya berceloteh di kamar dan di bagian belakang penginapan.

Aku yang sejak tadi merasa gerah terpikirkan untuk mandi. Tapi ketika mengingat air yang berasa asin dan terbatas itu, kemauanku untuk mandi seakan sirna. Aku memutuskan untuk memebersihkan diri saja.

“Mawank, kamu ndag mau mandi?”
“Akh, ndag…” Jawab Mawan.

Aku akhirnya pergi bersama Syahrini ke sumur gelap tadi yang digunakan membersihkan diri oleh teman-teman. Tak lupa kubawakan tas milik Ade Sudrajat yang udah ia pesan sebelumya melalui Phank. Betapa baiknya diriku. Oh no. Aku cuma kasihan akan Ade yang mungkin telah menjadi santapan liar nyamuk nakal disana. Ternyata tidak. Ade disana terlihat bergembira ber-show off dengan teman-temannya ketika kami datang. Setelah Rini membersihkan diri, aku pun ikut join ber-show off di sumur tersebut. Setelah mandi, aku dan Ade langsung balik ke penginapan.

Di penginapan, hidangan sederhana untuk makan malam telah dihidangkan sejak tadi. Setelah berganti pakaian aku langsung bergabung menikmati dinner malam itu ditemani Uni, Tanti, Eka Ag. dan beberapa teman lainnya yang sejak tadi belum mem-finish dinner-nya. Makanannya betul-betul terasa enak sekalipun dengan lauk sederhana seperti telur rebus dan tahu. Setelah having dinner kami kembali menikmati keindahan Samalona versi malam hari.



The Beautiful Night Ever
 “Abdi…kesini, kita nyanyi…” Lany mengajakku.
Di depan penginapan terlihat Lany dan Eka Asrianti tengah asyik beristirahat di bale-bale. Setelah mengambil gitar aku pun bergabung dengan mereka. Tak berapa lama muncul Idul, juga Ade yang ikut menyumbangkan suaranya. Tembang demi tembang mengalun bersama petikan gitar. She will be loved milik Maroon Five dan beberapa lagu barat dan indonesia menjadi tembang terindah kami malam itu. Tary dan Ahmad si “Smash Addict” juga ikut bergabung bersama kami. Ada juga Ammandk yang siap menggantikan diriku memainkan gitar.

Malam semakin bergulir, berpacu bersama waktu, namun suasana penginapan malah semakin ramai. Ramai dihiasi oleh “keributan” yang ditimbulkan oleh para pemain domino (Ayhi Reza, dkk) di ruang tamu/tengah penginapan. Kami yang berada di luar juga tengah asyik berbuat “keributan” dengan konser kecil-kecilan kami.

“Yuk ke pantai..” Wansah dan kawan-kawan mengajak.

Konser tanpa aksi panggung itu akhirnya bubar. Bersama Wansah dan beberapa teman lainnya, kami menuju pantai, menerobos kegelapan malam. Di pantai ternyata telah menunggu Idul, Dilla Young, dan Tanti. Kami pun bergabung bersama mereka.

Suasana pantai malam itu sungguh menabjubkan. Dari kejauhan nampak kelap-kelip lampu kota Makassar yang begitu indah. Taburan bintang-bintang di langit pun ikut meyemarakkan suasana. Aku benar-benar tidak pernah melihat dan merasakan hal seperti ini sebelumnya. Wonderful!

Malam itu kebersamaan kami seakan-akan benar-benar terasa. Canda dan tawa melengkapi kebersamaan kami.
“Kamu tahu apa bedanya bintang ama dirimu?” Salah seorang dari kami nyerocos.
Gak tau…”
Kalo bintang bersinarnya di langit, tapi kalo kamu bersinarnya di hatiku”
Semua orang tertawa terbahak-bahak.
“Kamu punya rumah nggak? Aku punya tangga nih. Kalo kamu mau yuk kita bikin rumah tangga.”

Luapan tawa kembali bergema. Malam itu acara “Raja Gombal” sepertinya telah berpindah lokasi ke pulau Samalona. Betul-betul…

Tak berapa lama kami ber-joking ria di pantai, Addank and the Backbone datang bergabung bersama kami dengan membawa gitar dan salah satu vokalisnya. Satu demi satu lagu mengalun bersama suara Addank and the Backbone, menghiasi indah malam itu. Tak lupa Addank juga mengabadikan moment-moment kami tersebut dengan kameranya. Ayuni dan K’ Rahman juga sempat mengabadikan pose mereka malam itu dengan latar kelap-kelip lampu kota Makassar.

Malam semakin larut. Addank and the Backbone meninggalkan kami bersama beberapa teman lainnya. Di pantai tinggallah Aku, Phank, Tary, Tanti, Ahmad, Ammank, Ade, Wansah, Anna, Uny, Mawan, dan Ardillah. Kami melanjutkan konser pantai malam itu. Ammank si “Rocker” tak ketinggalan petikan gitarnya mengiringi lagu yang kami nyanyikan bersama. Satu per satu teman meninggalkan kami. Tinggalah beberapa orang saja termasuk aku yang masih bertahan menikmati semilir angin malam pantai Samalona. Gitar bersenar empat dari Ammank akhirnya diserahkan kepadaku dan kami mulai melanjutkan konser part dua, konser puncak kami. Satu per satu lagu mengalir bersama terpaan angin. Malam itu konser kami betul-betul amazing, jebolan finalis UIN Idol pun sampe kehabisan suara ketika menyanyikan lagu “Selalu Ada” milik Black Out. Ckckck…Exaggerate. Tak ketinggalan solo performace lagu Korea yang dibawakan oleh Ade Sulmi Indrajat. Ada pula “Ariel Peterpen gadungan” yang ikut menyumbangkan lagu. Hhuh… Beautiful night ever.

Kami akhirnya meninggalkan pantai, kembali ke penginapan. Suasan penginapan masih ramai, malah lebih ramai dari sebelumnya. Beberapa teman terlihat tengah asyik bermain domino. Mereka terbagi dalam dua grup. Sebagian teman lainnya asyik menonton Indonesian Idol. Ternyata mereka belum puas dengan konser yang digelar di pantai tadi.

“ Phank, mau kemana?”
“Mau pergi makan. Ndag mau ikut?”
“Yuk..” Imbuhku.
“Jangan lupa bawa nasi bungkus.” Sambung Tary

Aku, Wansah, Tary, dan Phank langsung meninggalkan penginapan. Satu per satu penginapan yang mempunyai warung kami check, mungkin saja masih ada warung yang buka. Kami akhirnya menemukan satu warung yang masih buka.

“Bu, tolong buatkan mie kuah 3…”
“Iya, ada mie soto, ada juga rasa coto Makassar…”
“Saya coto Makassar…” Kata Wansah.

Tiga mangkok mie akhirnya dihidangkan. Kami makan ditemani dengan sedikit penerangan dari handphone milik Phank. Setelah meyumbat perut kami dengan “cacing tepung” tersebut, kami kembali ke penginapan.

Malam itu aku tidur di luar bersama Ade dan dua orang teman Ardillah. Mengapa tidak, seluruh ruangan penginapan full terisi. Hanya ada sedikit spasi yang tersisa di ruang tengah namun aku lebih memilih tidur di luar, di bale-bale. Aku masih ingin menikmati angin malam Samalona sekalipun tidur malamku tersebut sempat diganggui oleh beberapa nyamuk nakal yang hampir saja mengisap habis darah di kakiku. Exaggerate.

bersambung ke "Samalona; Aku dan Kalian (Bagian 3)

Samalona; Aku dan Kalian (Bagian 1)




“Kenangan-kenangan akan terlihat lebih indah ketika kita menggoreskan mereka dengan kata-kata di atas kertas. Kata-kata akan mewakili detail perasaan dan perwujudan abstrak dari apa yang telah kita alami.”


Dermaga Fort Rotterdam
Bunyi deburan ombak dan riak-riak air laut di bibir pantai Losari menghiasi Sabtu sore. Angin bertiup lembut, membelai, seakan-akan ikut menyelaraskan suasana. Tak ada hujan, panas pun tak sepanas hari-hari sebelumnya. Hari ini, cuaca betul-betul paham dengan apa yang kami akan lakukan: Doing the beautiful plan ever.

Matahari semakin condong ke Barat, sinarnya mulai temaram namun masih menyisakan kristal-kristal bercahaya ketika dipandang, artinya Ia masih ingin berbagi sinarnya meskipun hari telah sore.

“Kapal udah siap, silahkan kalian ke dermaga sebelah” Suara si awak kapal memecah kegaduhan kami. Kami langsung mengambil barang-barang dan berbondong-bondong ke dermaga sebelah.

“Hey, hey…yang lainnya disini saja, ada satu kapal disini”
 Suara awak kapal tersebut menghentikan langkahku dan beberapa teman lainnya.
“Kalian ke dermaga saja dan menunggu disana” Lanjutnya lagi

Aku, Ardillah, Amel, Ammandk dan beberapa teman lainnya menapaki dermaga kayu sepanjang 40-an meter menuju kapal kecil yang akan kami tumpangi ke pulau seberang. Kami merupakan kelompok yang terpisah dari teman-teman lainnya, kelompok yang dipatahkan niatnya untuk bergabung dengan teman-teman lainnya. Anggotanya pun 99 % laki-laki, menyisakan seorang cewek, Amelia. So pathetic :’( …

“ Udah dimana nich? Masih mau ikut atau tidak?” Amel berbicara di telpon dengan Guardiannya, Rakil.
“Tunggu, udah mau nyampe…”

 Sambil menunggu datangnya Rakil, kami beristirahat sejenak, menikmati indahnya laut pantai losari.

Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan teman-teman yang lainnya yang terpisah dengan kami di dermaga sebelah. Mungkin mereka lagi ber-hip-hip hura, taking pictures, rolling in the deep atau mungkin sedang saling tonjok satu sama lain. I totally had no idea about them.

Kurang lebih beberapa menit menunggu di atas dermaga, Amel’s guardian menampakkan batang hidungnya dari kejauhan. Dengan hati yang tak sabar, kami bersiap-siap menaiki kapal kecil yang akan mengantar kami ke pulau Samalona. Kapal tersebut mulai merapat di dermaga setelah doing test for moments.

Dari dermaga sebelah nampak kapal yang ditumpangi oleh teman-teman kami. Tak jauh beberapa meter dari belakang kapal tersebut, muncul kapal ketiga yang juga ditumpangi oleh teman-teman kami yang lainnya. Ternyata mereka semua doing fine. Tidak ada saling tonjok seperti yang ku kira, yang terjadi adalah having fun.

Aku dan teman-teman langsung menaiki kapal. Satu demi satu dari kami turun melalui dermaga dengan berhati-hati. Kapal tersebut akhirnya mulai menjauh dari dermaga, meninggalkan pantai losari, menuju beautiful island: Samalona.




Samalona The Awesome
Setelah 30 menit bersama deburan ombak dan terpaan angin laut Makassar, kami akhirnya tiba di pulau Samalona, pulau yang terkesan agak kecil namun menyimpan surga laut yang luar biasa. Kapal kecil kami mulai merapat di bibir pantai Samalona, disusul dua kapal lainnya yang ditumpangi teman-teman kami. Kedatang kami disambut oleh riakan laut pantai Samalona dan bunyi speedboat yang terdengar mendesing memecah kesunyian sore. Kami dan teman-teman lainnya turun dari kapal, tak sabar merasakan halusnya pasir pantai Samalona.

“Yuk befoto….”
“Yuuukkk…” Teman-teman besorak.

Sambil menurunkan our stuffs, kami mulai berfoto-foto dengan berbagai macam gaya. Berfoto bareng, ada juga yang berfoto sendiri. Benar-benar kamseupay. Kami terlihat seperti orang yang tidak pernah melihat pantai seindah Samalona.

Aku sebenarnya tidak terlalu merasa “gimana gitu” terhadap pulau Samalona. Toh in my city aku juga punya banyak pulau dengan pantainya  yang bisa disandingkan keindahannya dengan Samalona. Rumahku juga hanya beberapa meter jaraknya dari laut. Aku sudah terbiasa dengan laut dan pantai. Tapi yang perlu diketahui bahwa aku telah berpisah terlalu lama dengan hal-hal seperti itu. Sudah hampir setahun aku tak merasakan laut di daerahku because I stayed in Makassar. In short, Samalona akan mengobati rinduku. And I thought it was going to be amazing cuz we wud stay there for one night.

“300 ribu bisa tidak, bu?”
Masa’ 300 ribu, murah sekali itu. Kalian kan inginnya menginap sehari semalam. Tiga ratus ribu tidak mungkin.” Kata pemilik penginapan
Gimana kalo 350 ribu?”
“OK. Silahkan bawa barang-barang kalian ke penginapan saya.”

Setelah tawar menawar dengan waktu yang cukup lama, kami akhirya deal. Tiga ratus lima puluh ribu untuk sehari semalam. Harga penginapan di Samalona memang terbilang cukup mahal. Sebelum penawaran, pemilik penginapan bahkan menetapkan harga penginapannya lima ratus ribu. Busyet, she must be kidding. Mendengarnya saja nafasku udah hampir tertahan di tenggorokan. Aku tidak tahu apakah itu harga sebenarnya atau “harga tipuan”. Namun Alhamdulillah pemilik penginapan bisa diajak kompromi akan harga. Sehingga uang kami yang tersisa masih cukup digunakan untuk penginapan. Kami akhirnya membawa barang-barang kami ke penginapan yang jarak hanya beberapa meter dari pantai.

Di penginapan kami beristirahat sejenak dan merapikan barang-barang kami. Ada pula sebagian teman yang langsung kembali ke pantai. Se-kardus air mineral dibagikan untuk menyuap keletihan serta haus yang kami rasakan selama mengarungi perairan makassar hingga ke Samalona. Tak lupa pula kue sumbangan dari Bu “donatur” yang baik hati, Phank Dora. Benar-benar perfect.


Senja yang Berkilau
Sore itu pantai Samalona cukup ramai. Dimana-mana terlihat orang-orang tengah asyik menikmati indahnya pantai. Ada yang berfoto-foto, berenang, snorkeling, dan berjalan-jalan  dibibir pantai menikmati terpaan ombak laut. Ada pula yang memacu speedboatnya dengan bunyi gas yang menderu-deru namun cukup indah dinikmati. Suasana seperti ini adalah suasana yang betul-betul ditungggu oleh teman-temanku. Untuk apa lah pergi ke tempat indah seperti ini namun tidak menikmatinya. Let’s do it: Taking pictures. Apalagi untuk Ayuni temanku, cewek yang tak ingin kamera beranjak dari pandangannya, ini merupakan momen emas yang ia nanti-nantikan. Sore itu, everybody was taking pictures.

“Abdi, foto dulu e… Rini memanggilku.
“Iya, sebentar”.

Aku dan Ayuni menuju pantai dekat dermaga. Disana ada Tary, Rini, Eka Ag, Ade, Idul, Mawan dan Wansyach. Kami mulai berfoto-foto dengan berbagai macam gaya.
“Abdi, foto pake hp-ku.” Ade menyodorkan hp-nya.

Tary juga ikut menyodorkan hp-nya. OMG, emangnya aku fotografer. Setelah berfoto-foto ria, kami berpindah ke depan gerbang dermaga Samalona. Disana ada Ardillah dan teman-temannya. Berfoto-foto ria kembali berlangsung.

Senja semakin memudar. Kami pun terbagi dalam beberapa kelompok dan tersebar ke beberapa penjuru. Masing-masing mungkin mempunyai kesibukan tersendiri. Maklum, tidak semua dari kami saling mengenal. Beberapa dari kami ikut dengan membawa teman. Bahkan ada temanku yang membawa teman dan temannya tersebut membawa seorang teman juga. Layaknya lagu milik Iwan Fals “aku punya kawan, kawannya punya teman”. Hal itu bukanlah masalah bagi kami. Toh yang kami inginkan adalah mengajak teman sebanyak-banyaknya biar rame dan menyenangkan. Momen ini juga bisa saja menjadi ajang saling  kenal-mengenal dan silaturahmi.

Setelah beberapa saat berfoto-foto dan menikmati indahnya pantai, kami memutuskan untuk menunggu terbenamnya matahari di ufuk barat yang dalam bahasa Konjonya ”sunset”. Matahari sore itu memang terlihat telah mendekati jadwal untuk kembali ke peraduannya. Sinarnya mulai memudar mengikuti waktu yang seakan pergi meninggalkan kami. Sore itu kami betul-betul terbagi dalam kelompok yang lebih kecil lagi. Aku tidak tahu kemana gerangan perginya teman-teman lainnya. Aku, Mawank, dan Wansyach memutuskan untuk mengelilingi pulau. Kami mulai dari dermaga pulau Samalona menyusuri jengkal demi jengkal pantai Samalona.

Tak jauh dari dermaga nampak Syahrini PBI berjalan sendirian menikmati pantai. Syahrini, begitu aku memanggilnya. Kami pun bergabung bersamanya. Tak lama kemudian muncul Astanti, adik Syahrini.

“Syahrini, ku foto kau berdua nah
“Syahrini sama Ashanty” Celoteh adik Syahrini.

Aku mengangkat kamera dan mengabadikan pose kedua “pinang dibelah silet” tersebut. Setelah itu, Aku, Mawan, dan Wansah pergi meninggalkan mereka demi melanjutkan trip kami: “berpusing-pusing” di pantai Samalona.

Kami menapaki timbunan batu yang disusun sedemikian rupa laksana benteng pertahanan di bagian belakang pulau Samalona. Tak disangka kami menemukan segerombolan bidadari yang sedang berfoto ria disana, ada pula Jaka Tarub-nya. Nampak Lani, Amel, Anna, Uni, Eka, Fatma, Dilla, dan Idul sebagai juru kameranya sekaligus menjadi Jaka Tarub diantara mereka. Namun kali ini cerita Jaka Tarub dan Bidadari sungguh bertolak belakang dengan cerita aslinya. Disini, Jaka Tarub dimanfaatkan oleh para bidadari. Udah gitu, ceritanya terjadi di pulau Samalona, buka pulau Kayangan. Ckckck…Bidadari oh Bidadari. Kami pun bergabung dengan para bidadari tersebut hingga membuat cerita baru yang lebih aneh: “Bidadari dan Kawan-kawannya menikmati sunset di Samalona Island”. Betul-betul… Exaggerate.

bersambung ke "Samalona; Aku dan Kalian (Bagian 2)