“Hei, kamu yang di belakang…
Rambutmu tolong dicukur ya, udah
panjang bangat rambutmu tuh. Kamu mahasiswa atau bukan? Dicukur nanti ya.
Kamu juga, yang di sebelah sana. Kamu yang itu… Yang ini juga, yang baju merah.
Rambutmu pasti panjang, tapi kamu sengaja menyisirnya kesamping…”
Itulah sedikit omelan dari Ibu Ida, dosen kami, yang telah
membiarkan kami membuang-buang waktu dengan menunggunya setiap hari Kamis pagi.
Hari ini kurang lebih 45 menit waktu terbuang, hingga ia menampakkan wajah innocent-nya di depan pintu kelas kami,
dan memulai kuliah hari ini. Namun sebelum masuk pada materi inti, kami telah
mendapat sarapan pagi yang tidak enak hari ini, omelan darinya.
Aku yang duduk di samping bagian belakang kelas, tersenyum
kecil sambil menundukkan kepala, menyadari bahwa akulah yang disebut oleh Ibu
Ida, ‘yang berbaju merah’. Aku sebenarnya sudah berharap sejak tadi semoga Ibu
Ida tidak menyebut diriku juga sebagai salah satu penyandang rambut panjang di
kelas kami. Tapi apa boleh buat, dewi fortuna kelihatannya tidak ingin berbagi
kebaikan denganku hari ini. Ya, memang betul, bahkan lebih dari itu. Hari ini,
sejak pagi, aku tidak bersemangat sama sekali. Beberapa hari ini memang aku
terserang panas dalam yang dapat kukatakan cukup parah, dibarengi dengan
kawan-kawan sebayanya: sariawan, dan sakit tenggorokan. Sudah tiga hari aku
kehilangan mood-ku, begitu pula hari
ini. Empat kaleng Lasegar telah kuhabiskan namun tak ada sedikit
perubahan yang bisa kurasakan. Sungguh menyiksa.
Kuliah belum dimulai, masih terjadi “chatting-chatting
segar” antara kami dan Ibu Ida sambil menunggu Danz, ketua kelas kami yang
sedang mem-fotocopy materi kuliah
yang akan didiskusikan nanti. Ibu Ida terus berceloteh, dan…
“Hei, kamu yang memakai jaket. Tolong dibuka jaketmu ya.
Anak kuliah sekarang ada-ada saja.”
Aku yang sejak tadi serius mendengarkan celoteh-celoteh Ibu
Ida langsung memalingkan pandangan, menatap kemana omelan Ibu Ida ditujukan.
Teman kami, Dhanul, mendapat sarapan pedas yang sama yaitu teguran dari Ibu
Ida.
“Iya, Bu”.
Itulah seonggok kata yang keluar dari mulut Dhanul,
meyakinkan Ibu Ida bahwa ia akan melepaskan jaketnya. Dari depan pintu, Danz
yang sejak tadi ditunggu-tunggu telah muncul dengan gaya ‘lemah gemulainya’,
membawa lembaran-lembaran materi untuk kuliah kami. Kuliah hari ini langsung
dimulai.
“Hari ini kita akan belajar tentang Men-summarize artikel… Silakan baca atribut-atributnya di bawah,
bagaimana men-summarize sebuah
paragraf atau artikel.” Ibu Ida menjelaskan.
“Kemudiah lihat contohnya di halaman sebelah..” Lanjut Ibu
Ida.
Kuliah Ibu Ida hari ini berlangsung seperti biasa. Tak ada
yang fantastis menurutku. Aku hanya menyukai aksen-aksen bahasa Ingrisnya yang sounds so cool. Ibu Ida kadang-kadang membenarkan
pengucapan bahasa inggris kami yang salah atau yang over. Over maksudnya bahwa kami kadang-kadang membuat pronounciation yang lebih aneh dari
bahasa Inggris yang sebenarnya. Ketika membenarkannya, disitulah ia menampakkan
aksen kebarat-baratannya pada kami. And I guess that’s so cool.
Waktu berjalan tak begitu terasa. Ibu Ida akhirnya menutup
pertemuannya kali ini, meninggalkan kelas, dan berlalu menghilang dari depan
pintu kelas kami. Kami langsung bubar dengan aktifitas masing-masing, sambil
menunggu datangnya dosen kedua hari ini, dosen yang lebih cool lagi dengan teori-teori
psikologi serta cerita-ceritanya yang selalu membuat kami terpana, ternganga, dan tertawa terbahak-bahak,
seperti bahasa gaul orang Barat, “LOL”.
Kuliah hari ini sungguh menyenangkan, namun di sisi lain ada
pula hal-hal yang tak menyenangkan. Seperti yang terjadi pada diriku, yang
kehilangan mood sejak dari jam
pertama, selalu menguap ketika kuliah berlangsung, dan mengantuk. Juga yang
terjadi pada teman-temanku, yang mendapat teguran, apalagi yang terjadi pada
salah seorang temanku, Ayuni, yang got
accident di jalanan dekat kampus tetangga. Ia akhirnya harus menunda
kuliahnya hari ini dengan wajah yang tersedu-sedu disertai air mata mengalir di
pipinya. Ia pula harus merelakan kulit mulusnya menjadi santapan aspal jalanan
hingga menyisakan luka pada kakinya, dan di bagian siku tangannya. Hari ini
memang sedikit menyedihkan. Dewi fortuna memang tidak bisa diajak kompromi
untuk hari ini. Seperti yang dikatakan Daniel Powter dalam salah satu lirik lagunya,
“bad day”. Yah, bad day.
0 komentar:
Posting Komentar