Samalona; Aku dan Kalian (Bagian 1)

Kamis, 11 Oktober 2012




“Kenangan-kenangan akan terlihat lebih indah ketika kita menggoreskan mereka dengan kata-kata di atas kertas. Kata-kata akan mewakili detail perasaan dan perwujudan abstrak dari apa yang telah kita alami.”


Dermaga Fort Rotterdam
Bunyi deburan ombak dan riak-riak air laut di bibir pantai Losari menghiasi Sabtu sore. Angin bertiup lembut, membelai, seakan-akan ikut menyelaraskan suasana. Tak ada hujan, panas pun tak sepanas hari-hari sebelumnya. Hari ini, cuaca betul-betul paham dengan apa yang kami akan lakukan: Doing the beautiful plan ever.

Matahari semakin condong ke Barat, sinarnya mulai temaram namun masih menyisakan kristal-kristal bercahaya ketika dipandang, artinya Ia masih ingin berbagi sinarnya meskipun hari telah sore.

“Kapal udah siap, silahkan kalian ke dermaga sebelah” Suara si awak kapal memecah kegaduhan kami. Kami langsung mengambil barang-barang dan berbondong-bondong ke dermaga sebelah.

“Hey, hey…yang lainnya disini saja, ada satu kapal disini”
 Suara awak kapal tersebut menghentikan langkahku dan beberapa teman lainnya.
“Kalian ke dermaga saja dan menunggu disana” Lanjutnya lagi

Aku, Ardillah, Amel, Ammandk dan beberapa teman lainnya menapaki dermaga kayu sepanjang 40-an meter menuju kapal kecil yang akan kami tumpangi ke pulau seberang. Kami merupakan kelompok yang terpisah dari teman-teman lainnya, kelompok yang dipatahkan niatnya untuk bergabung dengan teman-teman lainnya. Anggotanya pun 99 % laki-laki, menyisakan seorang cewek, Amelia. So pathetic :’( …

“ Udah dimana nich? Masih mau ikut atau tidak?” Amel berbicara di telpon dengan Guardiannya, Rakil.
“Tunggu, udah mau nyampe…”

 Sambil menunggu datangnya Rakil, kami beristirahat sejenak, menikmati indahnya laut pantai losari.

Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan teman-teman yang lainnya yang terpisah dengan kami di dermaga sebelah. Mungkin mereka lagi ber-hip-hip hura, taking pictures, rolling in the deep atau mungkin sedang saling tonjok satu sama lain. I totally had no idea about them.

Kurang lebih beberapa menit menunggu di atas dermaga, Amel’s guardian menampakkan batang hidungnya dari kejauhan. Dengan hati yang tak sabar, kami bersiap-siap menaiki kapal kecil yang akan mengantar kami ke pulau Samalona. Kapal tersebut mulai merapat di dermaga setelah doing test for moments.

Dari dermaga sebelah nampak kapal yang ditumpangi oleh teman-teman kami. Tak jauh beberapa meter dari belakang kapal tersebut, muncul kapal ketiga yang juga ditumpangi oleh teman-teman kami yang lainnya. Ternyata mereka semua doing fine. Tidak ada saling tonjok seperti yang ku kira, yang terjadi adalah having fun.

Aku dan teman-teman langsung menaiki kapal. Satu demi satu dari kami turun melalui dermaga dengan berhati-hati. Kapal tersebut akhirnya mulai menjauh dari dermaga, meninggalkan pantai losari, menuju beautiful island: Samalona.




Samalona The Awesome
Setelah 30 menit bersama deburan ombak dan terpaan angin laut Makassar, kami akhirnya tiba di pulau Samalona, pulau yang terkesan agak kecil namun menyimpan surga laut yang luar biasa. Kapal kecil kami mulai merapat di bibir pantai Samalona, disusul dua kapal lainnya yang ditumpangi teman-teman kami. Kedatang kami disambut oleh riakan laut pantai Samalona dan bunyi speedboat yang terdengar mendesing memecah kesunyian sore. Kami dan teman-teman lainnya turun dari kapal, tak sabar merasakan halusnya pasir pantai Samalona.

“Yuk befoto….”
“Yuuukkk…” Teman-teman besorak.

Sambil menurunkan our stuffs, kami mulai berfoto-foto dengan berbagai macam gaya. Berfoto bareng, ada juga yang berfoto sendiri. Benar-benar kamseupay. Kami terlihat seperti orang yang tidak pernah melihat pantai seindah Samalona.

Aku sebenarnya tidak terlalu merasa “gimana gitu” terhadap pulau Samalona. Toh in my city aku juga punya banyak pulau dengan pantainya  yang bisa disandingkan keindahannya dengan Samalona. Rumahku juga hanya beberapa meter jaraknya dari laut. Aku sudah terbiasa dengan laut dan pantai. Tapi yang perlu diketahui bahwa aku telah berpisah terlalu lama dengan hal-hal seperti itu. Sudah hampir setahun aku tak merasakan laut di daerahku because I stayed in Makassar. In short, Samalona akan mengobati rinduku. And I thought it was going to be amazing cuz we wud stay there for one night.

“300 ribu bisa tidak, bu?”
Masa’ 300 ribu, murah sekali itu. Kalian kan inginnya menginap sehari semalam. Tiga ratus ribu tidak mungkin.” Kata pemilik penginapan
Gimana kalo 350 ribu?”
“OK. Silahkan bawa barang-barang kalian ke penginapan saya.”

Setelah tawar menawar dengan waktu yang cukup lama, kami akhirya deal. Tiga ratus lima puluh ribu untuk sehari semalam. Harga penginapan di Samalona memang terbilang cukup mahal. Sebelum penawaran, pemilik penginapan bahkan menetapkan harga penginapannya lima ratus ribu. Busyet, she must be kidding. Mendengarnya saja nafasku udah hampir tertahan di tenggorokan. Aku tidak tahu apakah itu harga sebenarnya atau “harga tipuan”. Namun Alhamdulillah pemilik penginapan bisa diajak kompromi akan harga. Sehingga uang kami yang tersisa masih cukup digunakan untuk penginapan. Kami akhirnya membawa barang-barang kami ke penginapan yang jarak hanya beberapa meter dari pantai.

Di penginapan kami beristirahat sejenak dan merapikan barang-barang kami. Ada pula sebagian teman yang langsung kembali ke pantai. Se-kardus air mineral dibagikan untuk menyuap keletihan serta haus yang kami rasakan selama mengarungi perairan makassar hingga ke Samalona. Tak lupa pula kue sumbangan dari Bu “donatur” yang baik hati, Phank Dora. Benar-benar perfect.


Senja yang Berkilau
Sore itu pantai Samalona cukup ramai. Dimana-mana terlihat orang-orang tengah asyik menikmati indahnya pantai. Ada yang berfoto-foto, berenang, snorkeling, dan berjalan-jalan  dibibir pantai menikmati terpaan ombak laut. Ada pula yang memacu speedboatnya dengan bunyi gas yang menderu-deru namun cukup indah dinikmati. Suasana seperti ini adalah suasana yang betul-betul ditungggu oleh teman-temanku. Untuk apa lah pergi ke tempat indah seperti ini namun tidak menikmatinya. Let’s do it: Taking pictures. Apalagi untuk Ayuni temanku, cewek yang tak ingin kamera beranjak dari pandangannya, ini merupakan momen emas yang ia nanti-nantikan. Sore itu, everybody was taking pictures.

“Abdi, foto dulu e… Rini memanggilku.
“Iya, sebentar”.

Aku dan Ayuni menuju pantai dekat dermaga. Disana ada Tary, Rini, Eka Ag, Ade, Idul, Mawan dan Wansyach. Kami mulai berfoto-foto dengan berbagai macam gaya.
“Abdi, foto pake hp-ku.” Ade menyodorkan hp-nya.

Tary juga ikut menyodorkan hp-nya. OMG, emangnya aku fotografer. Setelah berfoto-foto ria, kami berpindah ke depan gerbang dermaga Samalona. Disana ada Ardillah dan teman-temannya. Berfoto-foto ria kembali berlangsung.

Senja semakin memudar. Kami pun terbagi dalam beberapa kelompok dan tersebar ke beberapa penjuru. Masing-masing mungkin mempunyai kesibukan tersendiri. Maklum, tidak semua dari kami saling mengenal. Beberapa dari kami ikut dengan membawa teman. Bahkan ada temanku yang membawa teman dan temannya tersebut membawa seorang teman juga. Layaknya lagu milik Iwan Fals “aku punya kawan, kawannya punya teman”. Hal itu bukanlah masalah bagi kami. Toh yang kami inginkan adalah mengajak teman sebanyak-banyaknya biar rame dan menyenangkan. Momen ini juga bisa saja menjadi ajang saling  kenal-mengenal dan silaturahmi.

Setelah beberapa saat berfoto-foto dan menikmati indahnya pantai, kami memutuskan untuk menunggu terbenamnya matahari di ufuk barat yang dalam bahasa Konjonya ”sunset”. Matahari sore itu memang terlihat telah mendekati jadwal untuk kembali ke peraduannya. Sinarnya mulai memudar mengikuti waktu yang seakan pergi meninggalkan kami. Sore itu kami betul-betul terbagi dalam kelompok yang lebih kecil lagi. Aku tidak tahu kemana gerangan perginya teman-teman lainnya. Aku, Mawank, dan Wansyach memutuskan untuk mengelilingi pulau. Kami mulai dari dermaga pulau Samalona menyusuri jengkal demi jengkal pantai Samalona.

Tak jauh dari dermaga nampak Syahrini PBI berjalan sendirian menikmati pantai. Syahrini, begitu aku memanggilnya. Kami pun bergabung bersamanya. Tak lama kemudian muncul Astanti, adik Syahrini.

“Syahrini, ku foto kau berdua nah
“Syahrini sama Ashanty” Celoteh adik Syahrini.

Aku mengangkat kamera dan mengabadikan pose kedua “pinang dibelah silet” tersebut. Setelah itu, Aku, Mawan, dan Wansah pergi meninggalkan mereka demi melanjutkan trip kami: “berpusing-pusing” di pantai Samalona.

Kami menapaki timbunan batu yang disusun sedemikian rupa laksana benteng pertahanan di bagian belakang pulau Samalona. Tak disangka kami menemukan segerombolan bidadari yang sedang berfoto ria disana, ada pula Jaka Tarub-nya. Nampak Lani, Amel, Anna, Uni, Eka, Fatma, Dilla, dan Idul sebagai juru kameranya sekaligus menjadi Jaka Tarub diantara mereka. Namun kali ini cerita Jaka Tarub dan Bidadari sungguh bertolak belakang dengan cerita aslinya. Disini, Jaka Tarub dimanfaatkan oleh para bidadari. Udah gitu, ceritanya terjadi di pulau Samalona, buka pulau Kayangan. Ckckck…Bidadari oh Bidadari. Kami pun bergabung dengan para bidadari tersebut hingga membuat cerita baru yang lebih aneh: “Bidadari dan Kawan-kawannya menikmati sunset di Samalona Island”. Betul-betul… Exaggerate.

bersambung ke "Samalona; Aku dan Kalian (Bagian 2)

0 komentar:

Posting Komentar