“Kenangan-kenangan akan terlihat lebih indah
ketika kita menggoreskan mereka dengan kata-kata di atas kertas. Kata-kata akan
mewakili detail perasaan dan perwujudan abstrak dari apa yang telah kita
alami.”
Dermaga Fort Rotterdam
Bunyi deburan ombak dan riak-riak air laut di bibir pantai
Losari menghiasi Sabtu sore. Angin bertiup lembut, membelai, seakan-akan ikut
menyelaraskan suasana. Tak ada hujan, panas pun tak sepanas hari-hari
sebelumnya. Hari ini, cuaca betul-betul paham dengan apa yang kami akan
lakukan: Doing the beautiful plan ever.
Matahari semakin condong ke Barat, sinarnya mulai temaram
namun masih menyisakan kristal-kristal bercahaya ketika dipandang, artinya Ia
masih ingin berbagi sinarnya meskipun hari telah sore.
“Kapal udah siap, silahkan kalian ke dermaga sebelah”
Suara si awak kapal memecah kegaduhan kami. Kami langsung mengambil
barang-barang dan berbondong-bondong ke dermaga sebelah.
“Hey, hey…yang lainnya disini saja, ada satu kapal disini”
Suara awak kapal
tersebut menghentikan langkahku dan beberapa teman lainnya.
“Kalian ke dermaga saja dan menunggu disana” Lanjutnya lagi
Aku, Ardillah, Amel, Ammandk dan beberapa teman lainnya
menapaki dermaga kayu sepanjang 40-an meter menuju kapal kecil yang akan kami
tumpangi ke pulau seberang. Kami merupakan kelompok yang terpisah dari
teman-teman lainnya, kelompok yang dipatahkan niatnya untuk bergabung dengan
teman-teman lainnya. Anggotanya pun 99 % laki-laki, menyisakan seorang cewek,
Amelia. So pathetic :’( …
“ Udah dimana nich? Masih mau ikut
atau tidak?” Amel berbicara di telpon dengan Guardiannya, Rakil.
“Tunggu, udah mau nyampe…”
Sambil menunggu datangnya Rakil, kami beristirahat sejenak,
menikmati indahnya laut pantai losari.
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan teman-teman yang
lainnya yang terpisah dengan kami di dermaga sebelah. Mungkin mereka lagi ber-hip-hip hura, taking pictures,
rolling in the deep atau mungkin sedang saling tonjok satu sama lain. I totally had no idea about them.
Kurang lebih beberapa menit menunggu di atas dermaga, Amel’s guardian menampakkan batang hidungnya
dari kejauhan. Dengan hati yang tak sabar, kami bersiap-siap menaiki kapal
kecil yang akan mengantar kami ke pulau Samalona. Kapal tersebut mulai merapat
di dermaga setelah doing test for moments.
Dari dermaga sebelah nampak kapal yang ditumpangi oleh
teman-teman kami. Tak jauh beberapa meter dari belakang kapal tersebut, muncul
kapal ketiga yang juga ditumpangi oleh teman-teman kami yang lainnya. Ternyata
mereka semua doing fine. Tidak ada
saling tonjok seperti yang ku kira, yang terjadi adalah having fun.
Aku dan teman-teman langsung menaiki kapal. Satu demi satu
dari kami turun melalui dermaga dengan berhati-hati. Kapal tersebut akhirnya
mulai menjauh dari dermaga, meninggalkan pantai losari, menuju beautiful island: Samalona.
Samalona The Awesome
Setelah 30 menit bersama deburan ombak dan terpaan angin laut
Makassar, kami akhirnya tiba di pulau Samalona, pulau yang terkesan agak kecil
namun menyimpan surga laut yang luar biasa. Kapal kecil kami mulai merapat di
bibir pantai Samalona, disusul dua kapal lainnya yang ditumpangi teman-teman
kami. Kedatang kami disambut oleh riakan laut pantai Samalona dan bunyi
speedboat yang terdengar mendesing memecah kesunyian sore. Kami dan teman-teman
lainnya turun dari kapal, tak sabar merasakan halusnya pasir pantai Samalona.
“Yuk befoto….”
“Yuuukkk…” Teman-teman besorak.
Sambil menurunkan our stuffs, kami mulai berfoto-foto dengan berbagai macam gaya. Berfoto
bareng, ada juga yang berfoto sendiri. Benar-benar kamseupay. Kami terlihat seperti orang yang tidak pernah melihat
pantai seindah Samalona.
Aku sebenarnya tidak terlalu merasa “gimana gitu” terhadap pulau Samalona. Toh in my city aku juga punya banyak pulau dengan pantainya yang bisa disandingkan keindahannya dengan
Samalona. Rumahku juga hanya beberapa meter jaraknya dari laut. Aku sudah
terbiasa dengan laut dan pantai. Tapi yang perlu diketahui bahwa aku telah
berpisah terlalu lama dengan hal-hal seperti itu. Sudah hampir setahun aku tak
merasakan laut di daerahku because I
stayed in Makassar. In short,
Samalona akan mengobati rinduku. And I
thought it was going to be amazing cuz we wud stay there for one night.
“300 ribu bisa tidak, bu?”
“Masa’ 300 ribu, murah sekali itu. Kalian kan
inginnya menginap sehari semalam. Tiga ratus ribu tidak mungkin.” Kata pemilik
penginapan
“Gimana kalo 350 ribu?”
“OK. Silahkan bawa barang-barang kalian ke penginapan saya.”
Setelah tawar menawar dengan waktu yang cukup lama, kami
akhirya deal. Tiga ratus lima puluh ribu untuk sehari semalam. Harga
penginapan di Samalona memang terbilang cukup mahal. Sebelum penawaran, pemilik
penginapan bahkan menetapkan harga penginapannya lima ratus ribu. Busyet,
she must be kidding. Mendengarnya saja nafasku udah hampir
tertahan di tenggorokan. Aku tidak tahu apakah itu harga sebenarnya atau “harga tipuan”. Namun Alhamdulillah
pemilik penginapan bisa diajak kompromi akan harga. Sehingga uang kami yang
tersisa masih cukup digunakan untuk penginapan. Kami akhirnya membawa
barang-barang kami ke penginapan yang jarak hanya beberapa meter dari pantai.
Di penginapan kami beristirahat sejenak dan merapikan
barang-barang kami. Ada pula sebagian teman yang langsung kembali ke pantai.
Se-kardus air mineral dibagikan untuk menyuap keletihan serta haus yang kami
rasakan selama mengarungi perairan makassar hingga ke Samalona. Tak lupa pula
kue sumbangan dari Bu “donatur” yang baik hati, Phank Dora. Benar-benar perfect.
Senja yang Berkilau
Sore itu pantai Samalona cukup ramai. Dimana-mana terlihat
orang-orang tengah asyik menikmati indahnya pantai. Ada yang berfoto-foto,
berenang, snorkeling, dan berjalan-jalan dibibir pantai menikmati terpaan ombak laut.
Ada pula yang memacu speedboatnya dengan bunyi gas yang menderu-deru namun
cukup indah dinikmati. Suasana seperti ini adalah suasana yang betul-betul
ditungggu oleh teman-temanku. Untuk apa lah pergi ke tempat indah seperti ini
namun tidak menikmatinya. Let’s do it: Taking pictures. Apalagi untuk
Ayuni temanku, cewek yang tak ingin kamera beranjak dari pandangannya, ini
merupakan momen emas yang ia nanti-nantikan. Sore itu, everybody was taking pictures.
“Abdi, foto dulu e…” Rini memanggilku.
“Iya, sebentar”.
Aku dan Ayuni menuju pantai dekat dermaga. Disana ada Tary,
Rini, Eka Ag, Ade, Idul, Mawan dan Wansyach. Kami mulai berfoto-foto dengan
berbagai macam gaya.
“Abdi, foto pake hp-ku.” Ade menyodorkan hp-nya.
Tary juga ikut menyodorkan hp-nya. OMG, emangnya aku
fotografer. Setelah berfoto-foto ria, kami berpindah ke depan gerbang dermaga
Samalona. Disana ada Ardillah dan teman-temannya. Berfoto-foto ria kembali
berlangsung.
Senja semakin memudar. Kami pun terbagi dalam beberapa
kelompok dan tersebar ke beberapa penjuru. Masing-masing mungkin mempunyai
kesibukan tersendiri. Maklum, tidak semua dari kami saling mengenal. Beberapa
dari kami ikut dengan membawa teman. Bahkan ada temanku yang membawa teman dan
temannya tersebut membawa seorang teman juga. Layaknya lagu milik Iwan Fals
“aku punya kawan, kawannya punya teman”. Hal itu bukanlah masalah bagi kami. Toh
yang kami inginkan adalah mengajak teman sebanyak-banyaknya biar rame dan
menyenangkan. Momen ini juga bisa saja menjadi ajang saling kenal-mengenal dan silaturahmi.
Setelah beberapa saat berfoto-foto dan menikmati indahnya
pantai, kami memutuskan untuk menunggu terbenamnya matahari di ufuk barat yang
dalam bahasa Konjonya ”sunset”. Matahari sore itu memang terlihat telah
mendekati jadwal untuk kembali ke peraduannya. Sinarnya mulai memudar mengikuti
waktu yang seakan pergi meninggalkan kami. Sore itu kami betul-betul terbagi
dalam kelompok yang lebih kecil lagi. Aku tidak tahu kemana gerangan perginya
teman-teman lainnya. Aku, Mawank, dan Wansyach memutuskan untuk mengelilingi
pulau. Kami mulai dari dermaga pulau Samalona menyusuri jengkal demi jengkal
pantai Samalona.
Tak jauh dari dermaga nampak Syahrini PBI berjalan sendirian
menikmati pantai. Syahrini, begitu aku memanggilnya. Kami pun bergabung
bersamanya. Tak lama kemudian muncul Astanti, adik Syahrini.
“Syahrini, ku foto kau berdua nah”
“Syahrini sama Ashanty” Celoteh adik Syahrini.
Aku mengangkat kamera dan mengabadikan pose kedua “pinang
dibelah silet” tersebut. Setelah itu, Aku, Mawan, dan Wansah pergi meninggalkan
mereka demi melanjutkan trip kami: “berpusing-pusing” di pantai
Samalona.
Kami menapaki timbunan batu yang disusun sedemikian rupa
laksana benteng pertahanan di bagian belakang pulau Samalona. Tak disangka kami
menemukan segerombolan bidadari yang sedang berfoto ria disana, ada pula Jaka
Tarub-nya. Nampak Lani, Amel, Anna, Uni, Eka, Fatma, Dilla, dan Idul sebagai
juru kameranya sekaligus menjadi Jaka Tarub diantara mereka. Namun kali ini
cerita Jaka Tarub dan Bidadari sungguh bertolak belakang dengan cerita aslinya.
Disini, Jaka Tarub dimanfaatkan oleh para bidadari. Udah gitu, ceritanya
terjadi di pulau Samalona, buka pulau Kayangan. Ckckck…Bidadari oh Bidadari.
Kami pun bergabung dengan para bidadari tersebut hingga membuat cerita baru
yang lebih aneh: “Bidadari dan
Kawan-kawannya menikmati sunset di Samalona Island”. Betul-betul…
Exaggerate.
bersambung ke "Samalona; Aku dan Kalian (Bagian 2)
0 komentar:
Posting Komentar